Sebelas Terbaik

Kalau sepak bola dimainkan oleh sebelas orang di lapangan tiap timnya. Yang ini adalah sebelas momen sebagai kaleidoskop musim 2023. Tentunya bukan melulu hasil yang terbaik, tetapi proses, proses, dan proses yang menuju ke arah terbaik. hasilnya? cek aja sendiri di bawah :p
Dengan mengenakan seragam saat tergabung pada musim perdana bersama DIP, saat itu berhasil mencetak gol ke gawang lawan yang juga saya tergabung di dalamnya. Selebrasi yang kikuk, akhirnya hanya melambai ke bench untuk meminta maaf kepada tim lawan. Fix lah, ini match fixing. Haha.
Pertandingan perdana bersama IKMAS FC, setelah 2 kali gagal bergabung. Meskipun sedang tidak berada dalam kondisi fit, alhamdulillah justru diberikan gol, 2 lagi. Alhasil, ekspresinya pun girang seperti tante.
Pertandingan ke sekian bersama DIP, jersey kedua dengan balutan warna biru dan krem. Lagi dan lagi, mencetak gol ke gawang tim DJP201310. Kesan di match ini, bek nya tangguh tapi tetap saja saya bisa nyolong gol, keahlian saya bisa menonjol di sini, menyelinap dalam gelap.
Untuk kesekian kalinya menjadi pemain cabutan. Bergabung dengan CoretaxFC yang kebetulan waktu itu disuruh untuk membawa jersey biru. Oke. Dipilihlah jersey PSIS Semarang musim 22/23. Ketok ngganteng, dipadu dengan celana yang juga PSIS. Sejauh ini, ini yang paling jauh.
Berikutnya, dalam suatu pertandingan memakai jersey Lazio edisi spesial. Dipadukan dengan manset biru terlihat lebih cocok kombinasinya. Kalau dilihat sekilas sudah kayak Makinwa! Pecinta Serie A lawas pasti tau siapa beliau. Haha.
Laga silaturahmi yang digelar di Std. Citarum, Kota Semarang setelah lebaran 2023. Bersama IKMAS FC lintas angkatan. Selain memakai jersey IKMAS, saat itu juga dipinjami jersey inventaris Jateng I. Gimana? Udah cocok lah ya transfer in ke Semarang? Aamiin.
Dalam sebuah pertandingan Sabtu pagi di lapangan belakang kosan, yak betul. Lapangan STAN. Saat itu tergabung dalam tim biru -yang bukan film-. Akhirnya memakai jersey PSIS yang saya lupa musim berapa. Enak juga main di rumput asli, habis itu tinggal capeknya bersihin sepatu. Hiks.
Ini sedang kode minta ganti pemain. Ternyata susah juga main dalam 2 pertandingan berturutan. Antara pikiran dan tubuh sudah tidak sinkron, akhirnya melambai-lambai. Eng, bukan melambai yang itu yak. Meminta rekan di luar untuk masuk, lha kok malah difoto sama kang jepret.
Ikut bermain dalam sebuah internal game (bukan sparring) angkatan di atas saya. Main enak dan santai. Masih bisa adu lari. Bisa cetak 1 angka berkat menemukan ruang kosong dan eksekusi yang tenang. Btw, jersey nya bagus banget. Cocok lah kalau punya jersey putih. Glow in the light!
Jersey yang nggak bakal punya andai tidak tergabung dalam tim merah. Jersey timnas pun dipilih dan tentu saja langsung ke pemasok jersey jempolan yang juga merupakan sohib sejak tahun 2009. Keren juga kombinasi merah-merah nya. Berasa kayak jadi anggota timnas u-16!
Banyak orang bilang save the best for the last, and now please welcome… my first ever jersey. Kalian bakal nggak percaya kalo jersey Semfok FC ini diproduksi tahun 2006 atau 2007 #terharu. Keren juga pake jersey ala pemain-pemain Eropa, dimasukin ke celana! Bebas, sopan, dan rapi yak.

Bal-balan

31 Match, 34 Goals, 22 Assists

(Source: Futsal, Minisoccer)

Sedikit statistik dan rekapitulasi dengan menggunakan metode “iling-iling”. Lumayan susah yak fokus olahraga sama pengumpulan data. Tentunya sangat puas dengan pencapaian di atas. Namun, ke depan selalu ada ruang dan waktu untuk terus memperbaiki diri. Keep Fighting and Never Surrender. Berikut kesan-kesan setelah menjalani Season 2022:

Best Goal?

Mungkin dari beberapa gol, yang favorit dan paling gampang ya. Salah satu Futsal Jumat Krida pagi, sebuah tendangan yang bisa me-nutmeg bek dan kiper sekaligus. Haha. Saya pun tak menyangka.

Moments of the year?

1.    Gagal pinalti di saat gawang sudah terbuka lebar. Mungkin belum panas atau sudah lupa cara nendang pinalti.

2.     Akhirnya kembali ke lapangan besar, setelah sekian tahun dan berujung kram.

3.     Bisa main bola bersama berbagai macam komunitas.

4.  Hampir saja… hampir.. memulai perselisihan yang tak perlu. Hampir terpancing, tetapi tidak.

 

Yak, mungkin segitu aja kesan-kesan di 2022. Untuk tahun depan harapannya apa ya, semoga masih diberi kesehatan dan kesempatan mengolah raga dan menyepak bola lagi. Aamiin. Kalo harapan spesifik, mungkin ini:

1.      Jangan buang peluang! Sekecil apa pun dan apa pun itu. Karena jika buang-buang peluang, suatu saat akan dihukum dengan sesuatu yang nampaknya sepele tetapi vital.

2.       Putuskan dengan cepat, meskipun implementasinya tidak tepat. Coba lagi dan coba lagi.

3.       Tetap berkepala dingin, sesuai saran my old friend.


Beberapa jepretan....

after a long time.. leg crump


focus and then run (not so) fast

believe it... i've doing this for hundred times

start the game!

ball, please come to me and don't go around

what kind of celebration? aha!





Dua Belas Terbaik untuk Dua Ribu Dua Puluh

Rasanya sudah lama sekali nggak nulis santai. Terakhir nulis waktu bikin revisi resolusi untuk tahun 2020 yang mana menjadi tahun yang lebih “rame” dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin sejarah akan mencatatnya sebagai tahun prihatin, tahun yang menghantam semua sendi-sendi kehidupan manusia.

Namun, dari segala kesusahan yang dialami waktu tahun 2020 kemarin tentunya ada beberapa cuilan yang setidaknya menjadi penyejuk suasana di kala obrolan-obrolan toxic mulai melanda. Ingin rasanya kembali ke momen tersebut, tetapi bahkan yang sudah lewat pun tidak bisa kita raih kembali. Hidup harus terus berjalan dengan bergulirnya detik dan berhembusnya nafas.

Berikut dua belas momen terbaik yang bisa terangkum untuk tahun 2020. Momen-momen yang bakal menjadi pengingat ke depan andai dapat pertanyaan “tahun 2020 lagi dimana?” pasti jawabnya sambil bilang gini: “sik sik, 2020 ya,.. oh aku di xxx, aku pernah ke xxx, wah pas itu lagi xxx, dst

Januari : Terhantam flu berat, meriang, masuk angin hingga makan pun terasa hambar serta masih perlu menempuh perjalanan naik kereta dengan insiden celana sobek. Apakah aku terkena COVID-19? Komplit sudah.

Februari : Hasil jungkir balik selama satu semester skripsi tuntas dengan pernyataan “selamat Mas, Anda lulus” setelah sebelumnya ditanyain “Mas, deg-degan nggak?” Akhirnya usai sudah perjuangan pemotongan tukin selama setahun lebih, sekolah gratis tetapi menguras tabungan juga. Haha.

Maret : Pikiran sudah plong dan akhirnya bisa jalan-jalan. Nyetir sampai Temanggung merupakan sebuah prestasi yang biasanya (ke)tidur(an) kalo ke Temanggung. Sekaligus bisa liburan tipis-tipis karena penyebaran si virus sudah dimulai.

April : Hampir full di Semarang karena rumah adalah tempat terindah untuk pulang. Berkumpul bersama keluarga menjadi hal-hal yang pasti akan dirindukan bilamana terdapat jarak yang terpaut entah itu dekat maupun jauh. Sungguh rasanya sangat bahagia melihat tumbuh kembang anak.

Mei : Puasa dan lebaran full di Semarang jadi nggak perlu pusing mikir akomodasi tiket buat arus mudik maupun arus balik. Lagi, hal ini bakal menjadi sesuatu yang sulit untuk diulang dan tentunya akan sangat rindu. Semoga ketemu ramadhan lagi dengan kondisi yang lebih baik. Oh iya, Sholat Id nya di rumah. Hehe. Salah satu hasil karya saya yang secara nggak sengaja publish di jurnal negeri antah berantah sana. Entah, saya pun juga lupa kapan submit-nya. Alhamdulillah

Juni : Tak diduga. Covid itu (agak) nyata. Harus mengisolasi orang rumah ke pusat isolasi dan menjalani isolasi mandiri meskipun alhamdulillah tidak ada keluhan. Pokoknya yang penting kondisi tubuhnya dijaga, jangan stres, istirahat yang cukup. Alhamdulillah anak juga menjalani aktivitas seperti biasa, mungkin karena belum paham. Semoga COVID pergi jauh ya...

Juli : It’s time to work! Makaryo! Kejo meneh! Pertama kali kerja di gedung tinggi, naik lift, keluar lift langsung oleng. Haha... kalo kata Mas Tukul maklum wong ndeso, tapi rapopo rejekine kutho. Kembali bekerja untuk hari ini dan hari tua. Kembali belajar dari nol. Semangat. Oh iyo, sedih karena nggak bisa merayakan ultah anak.

Agustus : Mondar-mandir Jakarta-Semarang pulang-pergi bolak-balik menjadi hal yang hampir menjadi rutinitas di kala akhir pekan. Masih sempat untuk kondangan dengan protokol ketat. Ngajak bocil untuk ke pantai (baru dua kali) dan ke daerah pegunungan buat refreshing. Alhamdulillah. 

September : Jalan-jalan pake baju samaan sekeluarga. Mungkin (agak) norak, tetapi yowes ben lah wong keluargaku dhewe. Hehe. Sungguh jalan-jalan sama keluarga itu bisa jadi momen yang susah diraih kembali di periode-periode ini.

Oktober : Nyetir sampai ndesone Bapak trus lanjut ke Solo. Hahaha, The longest ride that I’ve ever made in my life. Bisa liburan staycation eh piye sih.. haha, pengen meneh tetapi harus nyari tanggal yang bagus. Udah kayak orang mau nikah aja. Ayo liburan dengan protokol kesehatan.

November : Tiba-tiba diminta bantuan untuk bantu acara di kantor. Nggak tanggung-tanggung acaranya untuk big boss one and two. Karena perlu banyak persiapan dan latihan jadi untuk pertama kalinya lembur dan balik dari Gatsu jam setengah sembilan malam, jalanan lengang sih tapi semoga besok-besok nggak perlu pulang malam lagi, yo.

Desember : Nggak disangka dan nggak diduga. Bahkan sampai sekarang tayangan ulangnya tidak berani (tidak mau) saya tonton lagi, tetapi setidaknya sudah menjadi capaian tersendiri. Cita-cita besar masih menanti. Tunggu untuk karya-karya selanjutnya.

Mungkin sekian dulu, pemanasan untuk menuju 2021 yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih dekat kepada Allah SWT. Cerminan 2020 untuk meniru hal-hal baik dan meninggalkan atau mengurangi hal-hal negatif yang controlable.

Stay positive mind

and go away toxic environment.

_FW Wardhono_

Menggembosi Resolusi yang Basi

Sudah menjadi tradisi bagi kebanyakan khalayak dalam menghadapi siklus akhir/awal tahun. Bukan. Ini bukan menyoal perdebatan pesta kembang api maupun meniup terompet. Perdebatan yang selalu muncul. Perdebatan tersebut seharusnya dan sepatutnya dapat hilang andai masing-masing dari kita meresapi toleransi. Lhoh malah kesini. Ganti.

Akhir tahun selalu berujung dengan koreksi dan evaluasi (mungkin juga evakuasi) atas cerminan diri selama satu periode kalender Masehi. Lalu munculah retorika yang disebut resolusi. Ah, seberapa banyak dari kita yang peduli resolusi. Paling terjadi lagi-terulang lagi-menyesal lagi-tobat lagi. Wajar. Namanya juga manusia, tempatnya lupa dan salah.

Kemudian, ijinkan diri saya untuk menulis apa resolusi untuk tahun 2020. Nggak perlu njlimet-njlimet, nggak perlu ambisius, hanya perlu yang challenging and achievable.


  1. Lebih hemat dalam menggunakan uang. Jangan royal, tetapi nggak pelit. Hidup itu serba memilih dan pilihan kadang sulit. Coba berpikir kemungkinan-kemungkinan yang muncul.
  2. Menabung untuk anak. Bedakan dengan poin di atas. Dengan 2019 yang bisa dikatakan agak tergerogoti tiap bulannya, diharapkan agar saldo tabungan dapat diperbaiki supaya tidak miris dan mringis.
  3. Hidup lebih sehat. Ya, memasuki usia yang semakin menua, aktivitas fisik boleh dikatakan harus distabilkan jangan sampai mati suri. Olahraga, makan bergizi, minum air segar,  kurangi begadang,,, tetapi kalo ada perlu dan maunya ya begadang boleh.. sesekali,
  4. Menjadi suami dan ayah yang hebat. 2019 menjadi tahun yang bahagia sekaligus membutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam menjalani kedua peran tersebut. Sebagai seorang suami, untuk bisa lebih membuat bahagia istri, lebih sabar, lebih bisa ambil keputusan yang terbaik buatnya. Sebagai seorang ayah, perlu banyak belajar dan mendampingi anak. Kurangi keteledoran dalam mengawasi anak. Alhamdulillah, dititipi anak olehNya yang sangat kuat. Thanks to both of you, make me stronger and better everyday.
  5. Kerja dengan baik. tak bisa ditolak dan dipungkiri. 2019 dikatakan menjadi tahun longgar  dalam dunia karir sejak 6 tahun silam. 2020 sudah menghadang dengan kondisi yang sangat sangat sempit berkumpul dalam kehangatan selimut... selimut keluarga... haha


Nggak perlu banyak-banyak, cukup itu dulu sambil di-improve di tengah jalan. Bismillah. Welcome 2020. Semoga ini tidak gembos dan basi

*ditulis sembari menunggu detik pergantian tahun dan menemani anak istri yang sedang terlelap untuk menandai mimpi indah terakhir mereka di 2019.

Ayah

UPDATE 08 JANUARI 2020
Make a mistake is an ordinary things to human race, but confess the mistake and try to make it better is the hardest way. Baru tanggal 8 udah basi apa ya itu resolusi. Bahkan, saya lupa memasukkan bagaimana untuk beribadah lebih baik lagi di 2020. Meskipun, cukup privasi untuk urusan satu ini tetapi ya itu adalah sebuah hal fundamental. Dasar dari segala dasar.
Semoga ada peningkatan dalam segi mendekatkan diri kepada Tuhan. Maha besar dan penolong di dalam kesempitan.

antara kata dan kita

memang tidak ada korelasi yang pas untuk menghubungkan kata dan kita
hanya perbedaan satu huruf yang membuat keduanya memiliki makna yang berbeda
begitupun dengan manusia, tidak ada satu kesamaan pun di antara
karena Tuhan menciptakan dengan beraneka
tak mengapa... bukankah justru itu yang membuat adanya kita

terlewati tahun kedua
dengan suka duka canda tawa tangis bahagia
cinta kita akan selalu membara dan terjaga

terima kasih kekasih jiwa
sudah engaku hadirkan warna berbeda
semoga selalu terlewati tahun-tahun berikutnya
dengan penuh kasih dan asa

-20/08/2019-
satu, dua, tiga

Selamat ulang tahun anak ayaaah...
nggak kerasa sudah 1 tahun yaa sejak kelahiranmu yang membawa banyak keberkahan buat kita semua...
Kamu lahir, ayah sekolah lagi, mama keterima CPNS,.
Semoga sehat selalu ya nak, jadi anak yang pintar, manut sama orang tua, tambah sholehah
Aamiin


Impian yang Menjadi Kenyataan
Atmosfer yang berbeda sangat saya rasakan malam itu. Suporter yang berduyun-duyun ke stadion memiliki semangat besar yang tak kalah dengan pemain di lapangan. Semangat yang mereka tularkan melalui teriakan dan koreo-koreo kreatif. Bahkan kadang ada sedikit cacian untuk peluang yang hilang. Ya, begitulah suporter dengan segala perilakunya. Semua dilakukan untuk satu tujuan. Mengawal tim kesayangan meraih kemenangan di akhir laga.

Menonton pertandingan sepak bola di televisi sudah biasa bagi saya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Akhir pekan menjadi suatu hal yang saya tunggu-tunggu karena bergulirnya pertandingan sepak bola di Eropa. Saya rela begadang demi menonton tim kesayangan dan pemain idola. Sebagai suporter layar kaca, saat itu saya membayangkan bisa menonton langsung di stadion dan bersorak sorai merayakan gol demi gol. Ternyata impian saya itu terwujud beberapa tahun berselang, tepatnya saat gelaran Piala AFF tahun 2010 yang digelar di Jakarta.

Saya masih ingat betul antusiasme publik terhadap timnas Indonesia sangat tinggi utamanya saat Piala Asia 2007 dan 3 tahun kemudian saat Piala AFF 2010. Bahkan pada tahun 2007 muncul tagline “Ini Kandang Kita” yang menggambarkan semangat berapi-api karena di dua tahun tersebut Indonesia mendapat giliran sebagai host. Tentunya masyarakat Indonesia berharap lebih terhadap permainan timnas dan juga hasil yang maksimal. Hasil yang dianggap maksimal pada Piala Asia 2007 menjaga atmosfer dukungan dari publik tetap tinggi hingga 3 tahun berselang. Pergantian tongkat kepemimpinan dari Ivan Kolev ke Alfred Riedl diharapkan dapat meningkatkan performa dan kekompakan tim.

Pada tahun 2010 kebetulan saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Tangerang dan berbarengan pula dengan pelaksanaan Piala AFF yang ke-8 di Jakarta. Saya pun sangat antusias dan ingin rasanya menonton pertandingan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Namun, jadwal kuliah yang padat membuat saya tidak bisa menonton seluruh pertandingan yang dijalani di grup A. Untungnya timnas kita bisa menyapu bersih semua pertandingan dengan menjungkalkan Malaysia (5-1), menggasak Laos (6-0) dan menundukkan Thailand (2-1) dalam sebuah pertandingan yang sudah tidak menentukan namun sarat gengsi.

Melaju ke babak semifinal sebagai pemuncak klasemen di penyisihan grup, timnas bertemu dengan Filipina yang notabene merupakan runner-up grup B. Laga semifinal digelar dengan sistem home-away bagi kedua kesebelasan. Pada saat itu Federasi Sepakbola Asean (AFF) tidak memberi rekomendasi kepada Filipina untuk menggelar pertandingan karena stadion yang tidak memenuhi persyaratan. Akhirnya, laga leg pertama digelar di SUGBK dengan timnas bertindak sebagai tim tamu.

Tak ingin melewatkan kesempatan lagi, saya bertekad untuk menonton langsung pertandingan timnas sekaligus mewujudkan angan-angan saya. Bersama seorang sahabat yang juga merupakan penggila bola, Izhar Rizki, kami berangkat ke SUGBK pada H-1 pertandingan dengan harapan memperoleh tiket pertandingan. Kami berangkat dari Tangerang dan melewati jalanan ibukota untuk mencapai SUGBK. Sesampainya di sana sana, kami melihat banyak sekali bentuk antusiasme yang bergelora. Pedagang jersey timnas bertebaran di sekitar stadion, belum lagi dengan adanya suporter dari daerah-daerah yang sengaja ke Jakarta demi menonton timnas.

Saya sempat tertegun melihat antrian penjualan tiket yang mengular dan semakin pesimis akan mendapat tiket. Kami pun akhirnya hanya berkeliling di sekitar SUGBK dan mampir ke kantor PSSI yang berada di komplek stadion. Kami melihat ada seorang bapak-bapak, yang kami tahu merupakan salah satu pengurus PSSI yang biasa muncul di TV sedang berjalan ke arah lobi. Kami pun nekat untuk menghampiri bapak itu dan menyampaikan niat bahwa kami merupakan kelompok suporter timnas dari kampus dan tidak kebagian tiket. Ternyata bapak pengurus PSSI itu menanggapi dengan baik dan berjanji besok akan memberi kuota tiket. Kami diminta untuk datang besok di salah satu hotel yang ada di kawasan Senayan.
Keesokan harinya saat hari pertandingan, saya dan teman-teman berangkat ke SUGBK beramai-ramai mengenakan jersey ataupun kaos berwarna merah dan putih. Sebelumnya tiket sudah diambil oleh rekan saya dan kami mendapat 12 tiket gratis! Alhamdulillah. Kami pun ikut ke dalam barisan antrian untuk memasuki stadion. Di dalam sudah ramai dengan suporter yang bersiap-siap meneriakkan yel-yel. Saya yang juga berada dalam tribun merasakan degupan jantung yang sangat keras dan juga takjub melihat puluhan ribu manusia memenuhi stadion. Pertama kalinya bagi saya melihat kumpulan orang dalam jumlah besar dan saya menjadi bagian dari itu.

Begitu lagu Indonesia Raya berkumandang, saya dan suporter lain berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan tersebut. Dada semakin sesak. Hati ini makin campur aduk. Ada rasa haru dan bangga, akhirnya saya bisa mewujudkan cita-cita yang sudah lama dambakan. Pertandingan dimulai, kami pun ikut bernyanyi dan meneriakkan yel-yel untuk membakar semangat pemain di lapangan. Di pertengahan babak pertama sebuah serangan dari timnas membuahkan gol yang dicetak Christian Gonzales melalui sundulan yang sempat membentur tiang. Kami semua berdiri dan seketika meneriakkan “Goool!”. Tanpa sadar kami saling berpelukan dan ikut larut dalam kegembiraan. Skor berubah 1-0 untuk Indonesia.

Pertandingan dilanjutkan dan jual beli serangan kembali dilakukan. Sepanjang pertandingan saya merasakan atmosfer yang berbeda dibandingkan dengan menonton dari layar kaca. Perasaan deg-degan yang lebih nyata apabila ada serangan lawan maupun saat timnas kita gagal menyelesaikan peluang untuk menambah gol. Hingga akhir pertandingan skor tidak berubah dan Indonesia memenangkan leg pertama ini.

Setelah mengambil sedikit foto untuk kenangan, kami pun pulang dengan rasa bangga dan bahagia. Di luar stadion, euforia kemenangan masih terasa. Nyanyian suporter yang tak kunjung henti dalam perjalanan pulang masih terdengar, pedagang jersey yang semakin laris dagangannya, penjaja makanan dan minuman yang seperti tidak kehabisan pembeli. Antusias saat itu sungguh terasa hingga gelaran usai. Namun sayangnya, lagi-lagi timnas kita hanya menjadi runner-up di bawah Malaysia.

Begitulah sepakbola. Dia bisa mempersatukan semua kalangan, menggerakkan roda perekonomian, menggerakkan massa, dan mengajarkan kita akan nilai-nilai fairplay. Persaingan hanyalah 90 menit di lapangan, setelah itu kita kembali bersaudara satu nusa satu bangsa. Tanpa suporter, sepak bola akan terasa hampa. Hidup sepakbola Indonesia.

(Tulisan ini mendapat tempat disini karena belum memenuhi persyaratan lolos kurasi dalam sebuah ajang penulisan)