Kemilau cahaya mentari masih
belum nampak. Agaknya masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Suasana di
pusat kota itu juga masih lengang. Tampak penyapu jalanan masih setia dengan sapu
tuanya. Sapu yang menjadi penyambung hidup, yang terus menari menyapu jalanan
ibu kota.
Deru mesin kendaraan masih
terbatas dalam indra pendengaran. Begitu pun dengan asap hitam yang tentu saja
belum bercampur dengan udara. Semua masih basah oleh air embun sisa angin malam.
Embun yang memberi setetes kehidupan.
Dari kejauhan, seorang itu mulai muncul. Seseorang yang dulu selalu ada di sudut
itu. sudut kota tempat biasa ak "bertemu" Entah tiap pagi aku mengharapkan untuk sejenak saja melihatnya, meskipun aku harus sembunyi dari dunia.
Dia yang selalu mencuri setiap
pandanganku yang telah kubuang jauh.
Dia juga yang selalu mencuri
setiap lamunku yang telah terbang entah kemana.
Dia (juga) juga yang selalu
mencuri setiap langkahku yang telah menapak tanpa tujuan.
Ya.. Dia..
Hanya menjadi sebuah impian dalam
sebuah utopia...
"karena matahari pun juga akan kehilangan energinya, andai aku benar menjadi matahari itu mampukah aku menjaga sinarku padamu?"