A long way to go... Baru pertama… emm ya pertama yang namanya hiking alias munggah gunung. Itu juga rencana dadakan yang nyaris batal karena anak-anak nggak semangat.
04.00 WIB
Dibangunin Ifan dengan cara disaduk.. hiks
“Nu Nu,, tangi sido hiking gak?” aku pun njenggirat bangun karena dibangunin pake cara itu. haha.

04.45 WIB
Akhirnya perjalanan dimulai. Setelah dihitung, yang berangkat cukup banyak juga : 3 pria lajang dan 1 pasangan suami istri. Pagi-pagi buta menembus tapal batas kota melewati 2 kabupaten, yang mana pemandangannya Masya Alloh indah banget. Saat itu adalah pertama kalinya aku pergi ke arah gunung, karena daerah yang aku kunjungi kebanyakan berkontur pantai.
Kanan - kiri penuh dengan vegetasi dan jurang. Maklum, namanya pegunungan… hehe. Kabut yang kadang turun membuat suasana menjadi sendu. Ada yang masih ngantuk, ada yang merem-merem melek (atau melek-melek merem)
08.30 WIB
Setelah perjalanan yang jauh, akhirnya sampai ke kota yang berada di atas gunung itu. suasananya damai dan dingin. Aku yakin orang jualan AC nggak bakal laku di kota itu. hihi. Mending-mending jualan wedang ronde. Kami bergegas mencari suatu tempat untuk sekedar mengisi perut. Sempat terjadi perdebatan kecil apakah perlu sarapan atau tidak. Pertimbangannya antara “nggak ada tenaga/laper” dan “suduken” Akhirnya ya jadilah kami sarapan. Menu yang beruntung kami pilih pagi itu adalah mi pangsit yang katanya murah.

09.00 WIB
Selesai sarapan dan kami meneruskan perjalanan berkelok-kelok menuju pos lapor. Sebelum itu, kami pergi ke warung untuk menyiapkan perbekalan. Mengisi tas dengan snack angin dan beberapa botol air mineral. Dikarenakan cuaca yang agak mendung, kami melengkapi perbekalan dengan membeli mantel plastik seharga 6 ribu rupiah. Oke perbekalan kami… Insya Alloh lengkap.

09.30 WIB
Tiba di lokasi, dan seorang kawan melapor ke pos penjagaan dan membayar biaya administrasi (?). Di pos itu, petugas menyarankan kami untuk mengikuti jalan beraspal saja, karena di antara kami berlima belum ada yang pernah hiking ke situ.
Setelah kami lapor, ternyata ada satu orang wanita yang “dititipkan” ke rombongan kami. Usut punya usut ternyata si mbak ini adalah pegawai magang di dinas setempat dan ternyata masih satu angkatan sama kami. Aku jadi mikir kalo misalnya nggak ada kami, mbaknya ini tetep naik apa nggak ya. Secara wanita dewean munggah gunung, mengko nek digondol macan piye,, opo neh macan garong #krik
Kami pun berangkat dengan personel 6 orang. Sampai di pintu masuk, jalanan yang kami lalui terus menanjak. Kaki ini mulai terasa malas untuk mengikuti perintah otak. Jantung pun mulai berdebar-debar. Dub dub dub begitu kencang. Jaket khas yang selalu aku pakai akhirnya aku lepas karena keringat mulai membuat gerah. Setapak demi setapak.
Oh iya, kata petugas dan beberapa rekan yang sudah pernah hiking ke situ, untuk mencapai puncak diperlukan waktu 2 jam. Namun, bagi yang sudah biasa hiking ya mungkin sekitar 1,5jam. Kami semua di situ masih amatiran dan kami pun memilih paket 2 jam++ . hahaha.

10.00 WIB
Baru setengah jam jalan dan kami pun berhenti. Lega aku mendengar kawan-kawan berhenti. Pas berhenti, kepala berasa nggliyeng, napas tersengal-sengal, jantungnya masih dub dub dub nggak karuan #halah.
“lungguh sik, Mbon”
Aku selonjorin kaki sambil duduk di tempat yang agak datar. Dan tiba-tiba perut saya mules. Disinilah hati saya bergejolak. Terus jalan atau dibuang isi perut. Kalau terus jalan nanti makin nggak karuan, kalau dibuang ya,, ya,, ini kan di hutan, mana ada kamar mandi.
Dan tiba-tiba ada suara dari alam yang membisik ke telingaku dan kuambillah keputusan.
“Guys, kalian berempat jalan dulu aja. Biar aku sama Angga jalan belakangan. Aku ada urusan.”
Sok cool banget.. lha iya daripada bilang “aku meh ngebom sik, ben dikancani Angga arep nyebokin”
Jadilah mereka berempat jalan duluan, saya pun masuk ke hutan, mencari semak-semak dan si Angga berjaga-jaga kalo misalnya ada beruang yang merasa terusik,, oleh bau dari arahku,,emmm
Beres berhajat, aku dan Angga pun berjalan kembali menyusul. Sekitar 15 menit kami bertemu dengan rombongan. Ternyata mereka juga pelan-pelan menunggu kami.

11.20 WIB
Tibalah kami di depan tangga menuju puncak,, bukan gemilang cahaya ya tapi. Di situ kami berfoto-foto sebentar sambil mengumpulkan tenaga untuk mendaki tangga terakhir menuju puncak. Katanya sih tangganya berjumlah 300-an. Senang rasanya sudah mendekati puncak. Kaki ini kembali bersemangat untuk menginjak anak tangga itu satu per satu.

11.30 WIB
Dan… puncak, alhamdulillah bisa sampai. Terbayar sudah perjalanan sekitar 2 jam (bener ya 2 jam). Pemandangan dari puncak sungguh luar biasa. Kota yang tadi kami singgahi berada di bawah kami. Bahkan tempat sarapan kami tadi terlihat dari situ (opoooo). Nggak ding becanda. Haha
Pokoknya puas banget sampai puncak. Jadi hikmahnya adalah : harus jaga kondisi fisik dan berusaha sekuat mungkin untuk mengejar cita-cita.. jadi manusia tidak boleh malas. Kalau capek ya berhenti sejenak, tarik nafas, sabar. Kemudian lanjutkan perjuangan kembali tanpa menoleh ke belakang #sokbijak

12.15
Kami pun seperti dipaksa turun oleh alam. Gerimis mulai mengundang dan kabut pun keluar menutupi jalan pendakian kami. Benar saja, sekitar 5 menit jalan hujan semakin menjadi. Kami keluarkan mantel plastik kami dan segera memakainya. Sayangnya si mbak yang ikut rombongan kami tadi tidak membawa plastik, jadilah beliau berkeruduk jaket. Alhamdulillah hujan tidak lama mengguyur.
Perjalanan turun terasa (agak) lebih ringan. Hanya kontrol keseimbangan saja biar nggak terpeleset dan tidak bablas ngglundung. Otot dengkul lebih terkoordinasi untuk mengerem dorongan gravitasi ke bawah. Sesuai ilmu fisika bahwa F = m x a. untung m ku besar, jadi a nya agak kurang oposih.
Untuk menghilangkan capek, aku pun mulai menyenandungkan beberapa lagu. Dan mujarab, baru juga beberapa lagu, kami sudah sampai kembali di pintu masuk tadi.

13.30
Sampai juga akhirnya di tempat pos tadi, kami melapor kepada petugas dan berpisah dengan si mbak tadi. Ketika akan cuci kaki, aku pun kaget karena dari telapak kaki sudah belepotan darah. Tiap disiram air, darahnya hilang. Namun, 5 detik kemudian mengucur lagi darah. Padahal tidak ada nyeri sama sekali. Mau telepon pacar tapi sinyalnya susah. Yaudah sementara dilap pake tissue. Kami pun segera beranjak pergi menuju kota lagi sambil mencari warung untuk membeli plester. Giliranku menyetir dan dengan darah yang semakin dleweran.
Pas udah dapet plester untuk dipasang, kuangkat kaki dan ternyata darah sudah menetes kemana-mana. Telapak kaki yang putih berubah menjadi genangan darah. Belum lagi yang menetes di karpet mobil #lebaysitik. Alhamdulillah tidak kenapa-kenapa setelah diplester.

13.30 – 18.00
Waktunya pulang untuk Ishoma. Istirahat di mobil, sholat di masjid, dan makan di temapt makan. Tak lupa pulang membeli oleh-oleh. Hehe
Alhamdulillah masih diberi kekuatan dan kesehatan untuk melakukan hiking. Umur sudah hampir seperempat abad, berat badan udah kepala 7. Huft. Semoga ke depan bisa hiking lagi sekaligus camping. Aamiin.

*Bengkulu - Curup, 12 Maret 2016


masih segar belum naik

di depan pintu masuk, start - finish

pohon ambruk

mulai lelah, untung ada ranting pohon

difoto mbaknya

mulai ngos - ngosan

jalur pendakian tangga

sampai di puncak, Angga ki pose opo 

asap dari kawah belerang

penghuni C6

pemandangan (?)

Balada Pria

Angkringan… The Power of Java, bermacam-macam rupa dan rasa dengan porsi yang sesuai selera.
“Pinten, Mas? Segone dua, (sate) baksone dua, tahu ne tiga, sama mimik e teh anget panas”
“Dua belas (ribu), Mas” timpal mas yang tunggu warung.
Wow… this is incredible of Java Island. Meanwhile, in other side of this earth, many people must pay more to buy at the “same thing”
Dan di angkringan itulah seorang pria paruh baya menemukan sebuah pencerahan. Pencerahan yang diceritakannya kepada saya itu sungguh mengena. Dia berbicara mengenai hijrah. hi-jrah. H I J R A H.
Pria itu mulai bercerita bahwa ia baru kembali dari rantau dan menyempatkan diri mengelilingi kota ini. Menurut ceritanya, kota ini sangat ramai bahkan di malam hari. Banyak anak remaja (ataupun dewasa) yang memenuhi kota. Di pusat kota, di pinggir jalan, di tempat pusat perbelanjaan. Ada yang sekedar duduk-duduk sambil ngobrol, ada yang keluar sekedar mencari cemilan. Malam pun semakin ramai dengan adanya sebuah konser musik yang mendatangkan grup musik papan atas negeri ini. Sungguh suasana yang menggambarkan riuhnya kota malam ini.
Pria itu melanjutkan kisahnya lagi. Kali ini dia menceritakan kemajuan kota ini. Gedung-gedung baru mulai dibangun, fasilitas umum mulai dirawat, dan pembangunan hingga ke area pinggiran kota. Dia begitu takjub akan kerlap-kerlip lampu yang menyala di malam hari.
Saya yang dari tadi duduk di sebelahnya sambil menyeruput secangkir teh menjadi terheran-heran. Dan tiba-tiba saya ingat kalau malam itu adalah malam minggu, malam yang katanya sakral untuk para pasangan, malam di mana akan terjadi meningkatnya volume kendaraan dan polusi. Ya pantes ramai, lhawong ini malam minggu. Pria ini nggak waras ya? Saya mencoba bertanya-tanya dalam hati dan saya hendak menyanggah semua celotehnya itu. Cangkir pun saya letakkan dan aaaa,, baru juga membuka mulut, Pria itu tiba-tiba bercerita lagi.
Sambil sedikt lesu dan setengah lirih dia berkata, “Saya ingin hijrah”
Itu kalimat yang diucapkannya. Ha? Hijrah yang bagaimana?
Sejurus kemudian Pria itu menggumam sendiri, saya yang di sebelahnya jelas mendengar apa yang diucapkannya tetapi susah untuk memahami. Mungkin hanya Pria itu sendiri yang tahu. Kira-kira yang keluar dari mulutnya seperti ini :
Nak, kamu masih muda. Jangan kebanyakan senang-senang. Umur tidak ada yang tahu. Hidup di dunia ini singkat, raihlah cita-cita kehidupan yang ada di akhirat nanti. Kamu lupa? janjiNya adalah pasti.
Saya cuma mengangguk saja, ketika saya mau berkomentar apa maksud dari perkataan si Pria itu, lagi-lagi si Pria itu melanjutkan ocehannya.
Aku memang bukan yang terbaik, beda denganmu yang bisa meraih itu.
Aku juga bukan sosok yang banyak teman, beda denganmu yang ramah.
Usahaku untuk sepertimu? Nol besar kawan..
Aku bukan orang yang murah senyum dan ringan tangan, beda denganmu yang selalu tersenyum.
Aku bukan orang yang religius, beda denganmu yang selalu melantunkan ayat suci bahkan hingga hapal.
Tetapi aku masih mencobanya, hingga kini.
Aku memang bukan orang yang pandai berkelahi, beda denganmu yang bahkan mampu membuat orang bergidik melihatmu
Aku bukan orang yang punya banyak harta, beda denganmu yang tiap hari selalu saja ada yang baru.
Maafkan aku kawan.
Aku bukan orang yang selalu sabar, beda denganmu yang selalu memiliki kepala yang dingin.
Aku bukan orang yang punya tekad kuat, beda denganmu yang selalu menunjukkan lebih.
Tiba-tiba pria itu berhenti mengoceh dan terbengong beberapa saat. Saya yang di sebelahnya menjadi keki. Hampir kutepuk pundak si Pria itu, dia tiba-tiba berceloteh kembali.
Dan kini aku terjebak dalam nostalgia. Ketika semuanya berubah menjadi yang lebih baik, aku hanya diam saja, terjebak dalam zona nyaman, terjebak dengan hingar bingar ini. Semuanya yang tidak berubah akan berlalu berkalang dengan debu. Sebaliknya, yang (setidaknya) mau dan berusaha untuk berubah akan menikmati hasil dan jerih payahnya. Sungguh aku menyesal. Semoga ini tidak hanya di mulut saja. Aku pengin hijrah.
Pria itu berhenti berbicara dan mulai menghabiskan teh panasnya. Sekilas kulihat tadi ada genangan air di kedua matanya. Mungkin Pria itu sedih, teringat anaknya, teringat istrinya, eh sudah menikah belum ya. Siapa tahu dia teringat yang lain, kekasihnya mungkin atau orang tuanya. Aku pun hendak bertanya lebih detil mengenai identitas si Pria itu.
Namun, Pria itu tiba-tiba berdiri dan mengambil cermin di sebelahku. Cermin? Sejak kapan ada cermin di sebelahku? Aku masih heran. Di tengah keherananku, Si Pria itu berlalu sambil menenteng cermin di pinggangnya.
“Lho piye to Bapak e kae, rung dibayar kok malah wes lungo”
“Lha piye to mas?”Aku pun bertanya dengan logat Jawa yang kental.
“Mbuh kui, malah lungo. Lha iki sing mbayar sopo. Apes tenan.”
“Bapak kui entek e piro, Mas? Sopo reti iso sisan tak bayar, iki aku nggowo duit luwih kok”
“Dua belas (ribu), Mas”