“Kamu nggak ngerasain, jadi nggak usah komentar”
Sebuah slogan yang sederhana, terus terang, dan (sejujurnya) agak nylekit.
Bermula dari ribut-ribut kecil antara kami berdua, biasa saling menceritakan keluh kesah dan saling memberi respons bentuk perhatian. Yah, namanya juga respons. Cerita apa, direspons gimana, harapannya gimana, tanggapannya gimana, ya kembali kepada pribadi masing-masing.

“Kamu nggak ngerasain, jadi nggak usah komentar”
Tetapi ada benernya juga. Seringkali kita memberi komentar yang negatif terhadap sesuatu hal yang bahkan kita sendiri tidak pernah tahu bagaimana sesuatu itu berjalan sebagaimana mestinya. Kita yang begitu gampangnya termakan oleh umpan dari media hanya tinggal komen ini komen itu komen begini komen begitu tanpa berusaha mencari tahu “yang benar dan yang seharusnya”

“Kamu nggak ngerasain, jadi nggak usah komentar”
Kalau boleh mengambil contoh, ambil kisah seorang pegawai pajak. Kerja benar saja masih diolok-olok, dicibir disana sini, dibilang pemakan uang haram oleh masyarakat pengkontribusi pajak, bahkan sebuah sindiran haus bisa muncul dari keluarga sendiri. Saya berkeyakinan bahwa pegawai pajak itu berhak membela diri dengan jutaan argumennya. Namun, adakah di benak pegawai pajak tersebut bahwa kebutuhan semakin mahal, rakyat semakin tercekik dengan peraturan pajak yang membuat warga semakin asing dengan pajak itu sendiri. Jadi boleh saja, pengkontribusi pajak itu berhak berkata

“Kamu nggak ngerasain, jadi nggak usah komentar”
Contoh lain adalah misalnya ketika kisah seorang dokter yang sudah berjuang semaksimal mungkin mengobati pasien, tetapi Tuhan berkata lain. Tidak jarang ada yang memang sudah ikhlas, tetapi ada juga yang menyalahkan dokter, dituduh kurang tanggaplah, bahkan ada yang sampai dituduh malapraktik. Bukankah seperti itu sungguh menyakitkan bagi si dokter, tetapi pernah nggak membayangkan gimana jadi yang ditinggalkan. Sedih? Pasti. Jadi sah-sah saja kalau yang ditinggalkan itu bilang

“Kamu nggak ngerasain, jadi nggak usah komentar”
Begitu banyak di dunia -yang sudah mulai kacau- ini yang mulai kabur antara kebaikan dan kejahatan. Faktanya, bangsa kita sangat amat mudah untuk digiring opininya. Dibolak-balik logikanya, hingga kalah melawan sesuatu yang memang sengaja dihembuskan salah.
Maafkan saya yang mungkin terkadang terlalu overcare, sok-sokan kasih nasihat sampai berbusa hingga esensi “care” nya hilang. Insya Alloh bakalan terus belajar dari kejadian ini.
Sama-sama harus sabar. Melapangkan dada selapang mungkin.

Terakhir, kamu nggak ngerasain jadi petugas satpol pp yang merazia, jadi nggak usah komentar atau kamu nggak ngerasain buka warung siang-siang, jadi nggak usah komentar atau….
bermula dari sebuah ide yang tiba-tiba muncul di layar laptop, dan segera searching dilanjut dengan memutar otak.
lumayan sih, tapi sebenernya bisa maksimal lagi.
hehe
dan sama kamu selalu bikin fresh dan terinspirasi kembali.
Makasih ya Anindita... :)