Impian yang Menjadi Kenyataan
Atmosfer yang berbeda
sangat saya rasakan malam itu. Suporter yang berduyun-duyun ke stadion memiliki
semangat besar yang tak kalah dengan pemain di lapangan. Semangat yang mereka
tularkan melalui teriakan dan koreo-koreo kreatif. Bahkan kadang ada sedikit
cacian untuk peluang yang hilang. Ya, begitulah suporter dengan segala
perilakunya. Semua dilakukan untuk satu tujuan. Mengawal tim kesayangan meraih
kemenangan di akhir laga.
Menonton
pertandingan sepak bola di televisi sudah biasa bagi saya sejak duduk di bangku
sekolah dasar. Akhir pekan menjadi suatu hal yang saya tunggu-tunggu karena
bergulirnya pertandingan sepak bola di Eropa. Saya rela begadang demi menonton
tim kesayangan dan pemain idola. Sebagai suporter layar kaca, saat itu saya
membayangkan bisa menonton langsung di stadion dan bersorak sorai merayakan gol
demi gol. Ternyata impian saya itu terwujud beberapa tahun berselang, tepatnya
saat gelaran Piala AFF tahun 2010 yang digelar di Jakarta.
Saya
masih ingat betul antusiasme publik terhadap timnas Indonesia sangat tinggi
utamanya saat Piala Asia 2007 dan 3 tahun kemudian saat Piala AFF 2010. Bahkan
pada tahun 2007 muncul tagline “Ini
Kandang Kita” yang menggambarkan semangat berapi-api karena di dua tahun
tersebut Indonesia mendapat giliran sebagai host.
Tentunya masyarakat Indonesia berharap lebih terhadap permainan timnas dan juga
hasil yang maksimal. Hasil yang dianggap maksimal pada Piala Asia 2007 menjaga
atmosfer dukungan dari publik tetap tinggi hingga 3 tahun berselang. Pergantian
tongkat kepemimpinan dari Ivan Kolev ke Alfred Riedl diharapkan dapat
meningkatkan performa dan kekompakan tim.
Pada
tahun 2010 kebetulan saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di
Tangerang dan berbarengan pula dengan pelaksanaan Piala AFF yang ke-8 di
Jakarta. Saya pun sangat antusias dan ingin rasanya menonton pertandingan di
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Namun, jadwal kuliah yang padat
membuat saya tidak bisa menonton seluruh pertandingan yang dijalani di grup A.
Untungnya timnas kita bisa menyapu bersih semua pertandingan dengan
menjungkalkan Malaysia (5-1), menggasak Laos (6-0) dan menundukkan Thailand
(2-1) dalam sebuah pertandingan yang sudah tidak menentukan namun sarat gengsi.
Melaju
ke babak semifinal sebagai pemuncak klasemen di penyisihan grup, timnas bertemu
dengan Filipina yang notabene merupakan runner-up grup B. Laga semifinal
digelar dengan sistem home-away bagi
kedua kesebelasan. Pada saat itu Federasi Sepakbola Asean (AFF) tidak memberi
rekomendasi kepada Filipina untuk menggelar pertandingan karena stadion yang
tidak memenuhi persyaratan. Akhirnya, laga leg
pertama digelar di SUGBK dengan timnas bertindak sebagai tim tamu.
Tak
ingin melewatkan kesempatan lagi, saya bertekad untuk menonton langsung
pertandingan timnas sekaligus mewujudkan angan-angan saya. Bersama seorang
sahabat yang juga merupakan penggila bola, Izhar Rizki, kami berangkat ke SUGBK
pada H-1 pertandingan dengan harapan memperoleh tiket pertandingan. Kami
berangkat dari Tangerang dan melewati jalanan ibukota untuk mencapai SUGBK.
Sesampainya di sana sana, kami melihat banyak sekali bentuk antusiasme yang
bergelora. Pedagang jersey timnas bertebaran
di sekitar stadion, belum lagi dengan adanya suporter dari daerah-daerah yang
sengaja ke Jakarta demi menonton timnas.
Saya
sempat tertegun melihat antrian penjualan tiket yang mengular dan semakin
pesimis akan mendapat tiket. Kami pun akhirnya hanya berkeliling di sekitar
SUGBK dan mampir ke kantor PSSI yang berada di komplek stadion. Kami melihat
ada seorang bapak-bapak, yang kami tahu merupakan salah satu pengurus PSSI yang
biasa muncul di TV sedang berjalan ke arah lobi. Kami pun nekat untuk menghampiri
bapak itu dan menyampaikan niat bahwa kami merupakan kelompok suporter timnas
dari kampus dan tidak kebagian tiket. Ternyata bapak pengurus PSSI itu
menanggapi dengan baik dan berjanji besok akan memberi kuota tiket. Kami diminta
untuk datang besok di salah satu hotel yang ada di kawasan Senayan.
Keesokan
harinya saat hari pertandingan, saya dan teman-teman berangkat ke SUGBK
beramai-ramai mengenakan jersey ataupun kaos berwarna merah dan putih.
Sebelumnya tiket sudah diambil oleh rekan saya dan kami mendapat 12 tiket
gratis! Alhamdulillah. Kami pun ikut ke dalam barisan antrian untuk memasuki
stadion. Di dalam sudah ramai dengan suporter yang bersiap-siap meneriakkan
yel-yel. Saya yang juga berada dalam tribun merasakan degupan jantung yang
sangat keras dan juga takjub melihat puluhan ribu manusia memenuhi stadion.
Pertama kalinya bagi saya melihat kumpulan orang dalam jumlah besar dan saya
menjadi bagian dari itu.
Begitu
lagu Indonesia Raya berkumandang, saya dan suporter lain berdiri dan bersama-sama
menyanyikan lagu kebangsaan tersebut. Dada semakin sesak. Hati ini makin campur
aduk. Ada rasa haru dan bangga, akhirnya saya bisa mewujudkan cita-cita yang
sudah lama dambakan. Pertandingan dimulai, kami pun ikut bernyanyi dan
meneriakkan yel-yel untuk membakar semangat pemain di lapangan. Di pertengahan
babak pertama sebuah serangan dari timnas membuahkan gol yang dicetak Christian
Gonzales melalui sundulan yang sempat membentur tiang. Kami semua berdiri dan
seketika meneriakkan “Goool!”. Tanpa sadar kami saling berpelukan dan ikut
larut dalam kegembiraan. Skor berubah 1-0 untuk Indonesia.
Pertandingan
dilanjutkan dan jual beli serangan kembali dilakukan. Sepanjang pertandingan
saya merasakan atmosfer yang berbeda dibandingkan dengan menonton dari layar
kaca. Perasaan deg-degan yang lebih nyata apabila ada serangan lawan maupun
saat timnas kita gagal menyelesaikan peluang untuk menambah gol. Hingga akhir
pertandingan skor tidak berubah dan Indonesia memenangkan leg pertama ini.
Setelah
mengambil sedikit foto untuk kenangan, kami pun pulang dengan rasa bangga dan
bahagia. Di luar stadion, euforia kemenangan masih terasa. Nyanyian suporter
yang tak kunjung henti dalam perjalanan pulang masih terdengar, pedagang jersey
yang semakin laris dagangannya, penjaja makanan dan minuman yang seperti tidak
kehabisan pembeli. Antusias saat itu sungguh terasa hingga gelaran usai. Namun
sayangnya, lagi-lagi timnas kita hanya menjadi runner-up di bawah Malaysia.
Begitulah sepakbola. Dia
bisa mempersatukan semua kalangan, menggerakkan roda perekonomian, menggerakkan
massa, dan mengajarkan kita akan nilai-nilai fairplay. Persaingan hanyalah 90
menit di lapangan, setelah itu kita kembali bersaudara satu nusa satu bangsa.
Tanpa suporter, sepak bola akan terasa hampa. Hidup sepakbola Indonesia.
(Tulisan ini mendapat tempat disini karena belum memenuhi persyaratan lolos kurasi dalam sebuah ajang penulisan)