Bicara persoalan “menjadi baik”, nah
ini salah satu hal yang gampang-gampang susah. Gampang diucapkan, susah
diterapkan. Dan hal ini pula yang menjadi koreksi dan evaluasi selama 2015
(setidaknya hingga tulisan ini diposting).
Desember... penghujung bulan di akhir
tahun, selalu seperti itu. Waktunya untuk introspeksi di tahun penanggalan
Masehi. Langsung saja, sepertinya sudah
terlalu banyak niatan dan ucapan saya untuk menjadi baik, berhenti berbuat yang
tidak baik, dan semuanya lah yang dianggap tidak baik untuk tidak dilakukan. Dan
sepertinya sudah terlalu banyak penginngkaran dari niatan dan ucapan itu. Selalu
saja ada tindak tanduk, ucapan, pikiran, niatan yang memunculkan hal yang tidak
baik. Astaghfirulloh....
Apakah saya masih bisa menjadi pribadi
yang lebih baik, andaikan selama ini saya bukanlah seorang yang baik? Katakan,
saya ini adalah seorang yang hina. Yang sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit
nggak menjaga mulut, sedikit-sedikit bertindak ngawur, sedikit-sedikit
bertindak sesuka hati. Nah kan, ujungnya malah jadi banyak bukan sedikit lagi.
Karena benar apa yang pernah saya
dengar, tetapi saya lupa mendengarnya dimana. Bahwa manusia itu hanya melihat
dampaknya secara langsung (kurang lebih seperti ini). Misalnya, satu perbuatan
dosa itu menimbulkan bau busuk maka pasti orang akan berlomba-lomba untuk tidak
mengeluarkan bau busuk. Pun dengan amal, andaikan amal itu bisa mendatangkan
satu keping emas. Semua orang pasti akan berebut untuk berbuat kebaikan di muka
bumi ini.
Problemnya adalah semua itu
berkebalikan. Saya dan manusia yang lain seringkali lupa atau bahkan tidak
tahu, bahwa amal-amal itu pembalasannya ada di hari akhir. timbanganNya lah
yang akan berbicara. Dan itu tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Kesempatan mencari
amal ada di dunia dan itu pun bisa melalui cara. Konsekuensinya adalah manusia
tidak bisa “merasakan” secara real amal itu di dunia. Hingga akhirnya kita
semua seringkali berkubang dalam lumpur dosa.
Sama seperti amal, dosa itu tidak
terlihat efeknya. Tanpa sadar orang yang berbangga-bangga dengan dosa masih
saja terlihat rapi, terpandang, dan juga berpengaruh. Padahal andaikan dosa itu
berbau busuk seperti di atas tadi, ya tidak bisa disembunyikan yang dinamakan
dosa itu. Luar biasanya lagi, mayoritas perbuatan dosa adalah perbuatan yang
menyenangkan, tidak sesuai dengan kaidah agama maupun hukum manusia.
Dan seperti inilah yang saya
khawatirkan, masihkah saya menjadi lebih baik keesokan hari?
Terlalu banyak janji-janji yang baik
saya ucapkan maupun saya dengarkan. Rasa kecewa kepada janji itu pasti ada. Entah
kecewa karena tidak bisa menepati janji yang diucapkan dan (seringkali) kecewa
terhadap janji-janji yang didengarkan. Kalau sudah mendengar ada janji, tetapi
dengan embel-embel “katanya” ya wallahu alam. Toh bukan yang ngomong yang
berjanji, kan katanya... patut kecewa?
Dimulai dari diri sendiri. Kadang saya
pun sering berjanji, entah kepada rekan, orang tua, atasan, dan pacar saya. Dan
berkali-kali pula mereka sering saya kecewakan dengan janji yang saya buat. Menjadi
hal yang paling sedih apalagi kalo kita sudah bilang ini ternyata jadi itu,
bilang itu ternyata jadi ini.
Terakhir, ketika saya sudah berjanji,
saya akan berusaha memenuhinya, andai saya gagal, hanya bisa ucapan maaf yang
saya berikan berikut penyesalan dari yang paling dalam. Itu janji saya.
Kamu mau sampai kapan jadi orang nggak
bener?