Beda antara kisah realita dengan sebuah
sandiwara bukan hanya setipis garis. Ada jurang pemisah di antaranya keduanya
yang meskipun tidak tipis sehingga tidak perlu ditanggapi dengan anarkis. Sandiwara
hanyalah sebuah kondisi di mana sebuah kebohongan harus menjadi “seperti”
realita. Semuanya bisa dikemas dengan rapi, indah, dan teratur sesuai kehendak.
Terlalu banyak kepalsuan di dalam sandiwara jadi usahakan jangan terlalu
dimasukkan ke dalam hati. Sandiwara cukup menjadi semacam hiburan semata. Beda
dengan realita. Realita merupakan sesuatu yang harus diusahakan dan dihadapi.
Kadang indah, kadang sedih. Nikmati realita yang ada. Meskipun kadang realita
dibumbui sandiwara, tetapi semua ada takarannya. Ibarat satu porsi kepiting lada
hitam. Bayangkan jika lada itu melebihi takaran sehingga menutupi rasa
kepiting. Begitulah bila sandiwara terlalu dilebih-lebihkan dalam kehidupan.
Baru-baru ini
sebuah sandiwara ‘memaksa’ saya untuk berperan menjadi sesuatu yang tidak biasa
bagi kehidupan saya. Sebelum saya menceritakan lebih jauh lagi beberapa kisah
sandiwara saya di masa lampau. Saya tegaskan, ketika saya harus memainkan peran
dalam dunia persandiwaraan, saya akan total. Karena saya tahu sebuah sandiwara ya it’s not real. Selow saja. Dan ketika
saya harus berbenturan dengan kehidupan maka diperlukan sebuah sandiwara cerdas
yang tidak berlebihan.
Oke. Dan saya
masih bisa mengingat beberapa peran dalam sandiwara yang pernah saya jalani
dengan tabah. Berikut bisa disimak.
1. Pertama kali, sandiwara yang saya pentaskan
adalah sandiwara dengan judul “Mencuri
Mangga”. Judul yang cukup simpel memang karena sandiwara ini dilakukan saat
saya duduk di bangku kelas 3 SD. Haha. Saya sebagai penulis cerita dan
melakonkan bersama teman-teman saya. Nggak cetho
sih memang. Lumayanlah.
2.
Dari era sekolah dasar, ternyata sandiwara kedua
saya adalah saat duduk di bangku kelas 1 SMA. Jauh memang. Seinget saya memang
saat bangku SMP nggak ada sandiwara. Jadi, pengalaman kedua ini adalah sebuah sandiwara
dalam pelajaran Bahasa Inggris. Tantangan terberat adalah menghapal keseluruhan
skrip dalam bahasa Inggris. Untung saja itu merupakan sandiwara pendek dan saya
tidak jadi pemeran utama. Haha.
3. Berikutnya, tak lama berselang. Pengalaman
ketiga dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dan ini sudah memasuki usia yang
setara dengan kelas 2 SMA. Kali ini tantangan cukup berat. Karena saya harus
berperan sebagai tokoh utama. Cerita yang diambil adalah pelesetan dari “Malin Kundang”. Saya menjadi Malin
Kundang yang mencari jodoh yang nantinya di ujung kisah ternyata mendapatkan
jodoh yang sejenis. Haha. Di akhir pementasan, saya mendapat surprise dari teman-teman karena
kebetulan hari pementasan adalah tepat di mana saya berulang tahun yang ke-17
4. Masih di bangku kelas 2. Kali ini bukan sandiwara
di depan kelas. Bahkan kami mendapat tugas membuat film. Dan ini kami dapatkan
dalam pelajaran Bahasa Inggris. Eng ing eng. Film yang dibuat oleh tim kreatif
kelompok kami adalah sebuah film bergenre horor. Dan ini menjadi tantangan
karena harus melakukan ambil adegan saat malam hari di sekolah. Seingat saya,
waktu itu saya berperan sebagai orang yang bernama “Mustaf” entah bagaimana
ceritanya saya juga sudah lupa. Haha.
5. Memasuki kelas 3 SMA. Ini yang saya agak lupa.
Saya pernah berperan menjadi seorang wanita. Memakai kebaya dan disumpel pake
kertas biar kelihatan “menonjol”. Haha. Dan saya rela-rela saja digituin. Tapi
sayang, saya agak lupa ini dalam pelajaran mana. Mungkin dengan gambar jadi
nggak berkesan hoax. Hehehe.
![]() |
oh no |
6.
Langsung melompat ke jenjang perkuliahan. Peran
saya dalam sandiwara terangkum saat tingkat akhir di kampus. Pada mata kuliah
KSPK dan kebetulan dilakukan di luar kelas. Saat itu ada pementasan drama mengenai
nilai-nilai kementerian keuangan dengan “INPROSPEK”nya. Dan saya mengambil
adegan dalam nilai “Pelayanan”.
![]() |
kelakuan jaman kuliah |
7. Sandiwara berikutnya terhampar dalam mata kuliah
“Budaya Nusantara”. Saat itu kelompok kami mendapat undian mementaskan budaya
Kalimantan dan saya pun memakai kostum suku Dayak Kalimantan.
8.
Puncaknya, sandiwara yang baru saya lakukan
adalah menjadi Nyi Ulo dalam pementasan Dewi Sri dalam sebuah acara penghargaan
di kantor. Dan ini merupakan puncak. Wajah saya sudah berubah drastis.
Kepribadian juga berubah drastis. Nggak ngomong sih. Cuma gerak-gerak dan yang
paling penting utamanya adalah melakukan tari India. Hahaha.
"Sebuah refleksi kehidupan, dimana sebagai manusia (hidup) terkadang dibutuhkan sebuah topeng. Topeng yang dapat digunakan untuk berubah, melenceng dari diri sendiri, dan memerankan jutaan karakter. Satu hal yang harus selalu tetap diingat. Meskipun memakai topeng, kepribadian seseorang tidak bisa selamanya ditutupi. Selalu ada nurani yang akan menampakkan wajah asli manusia. Percayalah, nurani itu masih ada."
Berhenti memakai topeng di depan cermin.
IQ??